Hukum Adat Harta Benda terhadap Jaminan Fidusia

Semua aturan adat yang mengatur hubungan-hubugan hukum antara manusia perseorangan atau bersama-sama, dengan harta benda atau harta kekayaan dinamakan hukum adat harta Benda.

Hukum adat harta benda, dijelaskan oleh L.J. van Apeldoorn, "Hukum adat ini tidak mengenal sistem pembagian seperti hukum benda (vermorgensrecht) menurut hukum perdata barat meteriel [Burgelijke Wetboek(BW)) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)], yang membagi dalam hukum harta mutlak yang disebut "hukum kebendaan" yang mengatur hak-hak kebendaan, dan hukum harta yang relatif yang disebut "hukum Perjanjian", yang mengatur tentang perhutangan dan perikatan."

Menurut Hilman Hadikusuma, harta benda yang diatur dalam hukum adat, ialah "tidak semata-mata mengenail harta yang bernilai uang, tetapi juga kekeluargaan, kebersamaan dan magis-religius. Begitu pula ia tidak membedakan antara barang-barang yang berwujud atau tidak berwujud, barang bergerak (roeroende goederen) atau barang tidak bergerak (onroenrende goederen). Kesemua harta benda itu dilihat menurut apa adanya. Jadi sifatnya sederhana dan mengandung asas-asas kekeluargaan dan keagamaan dan dipengaruhi susunan kemasyarakatannya. Menurut hukum adat 'hak milik' atas benda berarti 'hak kepunyaan' atau 'hak punya' yang tidak bersifat mutlak. Berbeda dari hak milik barat yang disebut eigendom (hak milik pribadi/individu/sendiri) dalam arti hak untuk menikmati dengan leluasa dan untuk berbuat leluasa terhadap harta benda dengan kekuasaan sepenuhnya (Pasal 570 KUH Perdata)."

Hak milik atas benda, Hilman Hadikusuma menjelaskan menurut hukum adat dapat dilihat perbedaan dengan konsep kepemilikan dengan hukum perdata barat peninggalan Hindia Belanda (Burgerlijk Wetboek) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu antara lain :

  1. hak milik perorangan, dengan hak milik kebendaan yang berasas kekeluargaan dan berfungsi sosial, maka pada dasarnya setiap orang dapat mempunyai hak milik atas tanah, bangunan, tanaman, atau tumbuhan, ternak, peralatan dan perlengkapan. Tetapi sejauh mana kekuatan hak milik tersebut untuk ditransaksikan dipengaruhi oleh tempat kediaman dan latar belakang kedudukan seseorang sebagai warga (adat), macam atau jenis harta bendanya serta bagaimana terjadinya hak milik tersebut;"
  2. hak milik bersama (kerabat) atas harta benda adalah hak bersama para anggota kerabat atas harta benda secara turun-menurun. Kebanyakan hak milik kerabat ini terdapat pada masyarakat yang susunan kekerabatannya bersifat unilateral, menurut garis keturunan bapak (patrilinial) atau menurut garis keturunan ibu (matrilinial) atau juga pada masyarakat yang masih bersifat kesukuan, dan;"
  3. hak masyarakat (umum), adalah hak bagi semua anggota masyarakat untuk memanfaatkan dan menikmati harta benda yang disediakan masyarakat (desa, nagari, marga) untuk kepentingan umum atau keagamaan, sepanjang tidak bertentangan dengan tata tertib adat yang berlaku."

Sunaryati Hartono berpendapat, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 (berlaku sejak tanggal 24 september 1960) tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), bahwa "Perlu dianutnya asas pemisahan horisontal ini dalam hukum tanah dan hukum benda nasional kita, bukan semata-mata didasarkan atas pertimbangan asas itu merupakan asas hukum adat, akan tetapi terutama, karena dengan menganut asas ini kebutuhan-kebutuhan masyarakat kita sekarang dan masa depan akan lebih terlayani, dan mudah diatur, daripada apabila kita menganut asas accessie (perlekatan vertikal)."

Didalam hukum tanah dikenal ada dua asas yang sangat berpengaruh, dan satu sama lain bertentangan, yaitu yang dikenal dengan "asas pelekatan vertikal (verticale accessie beginsel)" dan "asas pemisahan horisontal (horizontale scheideng beginsel)".

Menurut Djuhaedah Hasan, bahwa asas pelekatan vertikal yaitu asas yang mendasarkan pemilikan tanah dan segalah benda yang melekat padanya sebagai suatu kesatuan yang tertancap menjadi satu. Sedangkan asas pemisahan horisontal justru memisahkan tanah dari segala benda yang melekat pada tanah tersebut. salah satu aspek yang penting di dalam hukum tanah adalah tentang hubungan antara tanah dengan benda lain yang melekat padanya. Kepastian hukum akan kedudukan hukum dari benda yang melekat pada tanah itu sangat penting karena hal ini mempunyai pengaruh yang luas terhadap segala hubungan hukum yang menyangkut tanah dan benda yang melekat padanya.

Semenjak tanggal 30 September 1999, berlakulah Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jaminan Fidusia merupakan hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaiman dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya (UU Nomor 42 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2 tentang Jaminan Fidusia).

Selama ini, kegiatan pinjam meminjam dengan menggunakan hak tanggungan atau hak jaminan telah diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UU Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah. UU Nomor 4 Tahun 1996, LN Nomor 42 tahun 1996, TLN Nomor 3632) yang merupakan pelaksanaan dari pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, dan sekaligus sebagai pengganti dari lembaga Hipotek (Lembaga Jaminan Hipotek diatur dengan Pasal-pasal 1162 sampai dengan 1232 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) atas tanah dan credietverband. Di samping itu, hak jaminan lainnya yang banyak digunakan dewasa ini adalah Gadai (Lembaga Jaminan Gadai diatur dengan Pasal-pasal 1150 sampai dengan 1160 KUH Perdata), Hipotek selain tanah, dan Jaminan Fidusia. Undang-undang yang berkaitan dengan Jaminan Fidusia adalah pasal 15 UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman (UU tentang Perumahan dan Pemukiman, UU Nomor 4 Tahun 1992, LN Nomor 23 Tahun 1992, TLN Nomor. 3469), yang menentukan bahwa rumah-rumah yang dibangun di atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain dapat dibebani dengan Jaminan Fidusia. Selain tiu, UU Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun (UU tentang Rumah Susun, UU nomor 16 Tahun 1985, LN nomor 75 tahun 1985) mengatur mengenai hak milik atas satuan rumah susun yang dapat dijadikan Jaminan Utang dengan dibebani Fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah negara.

Benda yang dapat dibebankan dengan jaminan fidusia adalah benda yang merupakan segala sesuatu yang dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek

Sebagaiman kita ketahui, dalam hal penjaminan kebendaan, suatu perikatan itu dapat menimbulkan hak relatif (ius ad rem), di sini orang yang memiliki hak itu memperoleh perlindungan haknya tetapi hanya berhadapan dengan orang tertentu yang terikat dalam periktan itu. Tidak seperti pada hak kebendaan yang mempunyai sifat yang absolut (ius in rem), dimana pemiliknya mendapat perlindungan terhadap gangguan yang datang dari siapapun, karena hak kebendaan adalah kekuasaan mutlak atas benda.

Daftar Pustaka

  1. Apeldoorn van L.J. (1997). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:Pradhya Paramita.
  2. Hadikusuma, Hilman. (2001). Hukum Perekonomian Adat Indonesia. Bandung:Citra Aditya Bakti.
  3. Hartono, Sumarjati. (1978). Beberapa Pemikiran ke Arah Pembaharuan Hukum Tanah. Bandung: Alumni.
  4. Hasan, Djuhaedah. (1996). Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal. Bandung:Cintra Aditya Bakti.
  5. Mahadi. (1983). Hukum Benda Dalam Sistem Hukum Perdata Nasional. Bandung: Binacipta.
  6. Subekti, R dan R. Tjitrosudibio. (1990). Kitab Undang-undang Hukum Perdata (ed. 23). Jakarta:Pradhya Paramita.